Gak Apa-Apa yang Penting Halal
Mendengar cerita tentang kegelisahan yang disampaikan oleh teman ku bernama Neldy, awalnya ia hanya bercerita sedikit tentang apa yang terjadi pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Batulayang berlokasi di Pontianak Utara, Kalimantan Barat. Kebetulan Aku bersama Febri, Kiki dan Ainun terlibat disatu kelompok untuk melakukan sebuah liputan. Mendengar hal itu pun, kami berempat tertarik untuk pergi, dan memutuskan harus menulis tentang kejadian yang ada disana.
Dikarenakan satu dan lain hal, satu orang dari team kami (Febri) berhalangan tuk pergi, jadi kami bertiga (Aku, Kiki dan Ainun) lah yang bergegas pergi di tempat itu dengan rasa penasaran yang mendalam.
Mentari sedang berada di pucuk kepala, tatkala Berty mengais barang bekas di balik gunungan sampah yang mengitarinya. Bau yang menyengat,tetesan air kotor yang terus jatuh mengenai kepala dan belatung-belatung yang merayap di tubuhnya, sudah menjadi hal yang biasa baginya sejak 7 tahun terakhir.
Wanita 54 tahun itu tak seorang diri, banyak pula rekan yang seusianya memilih bekerja sebagai pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Batulayang, Pontianak Utara, Kalimantan Barat. Ia merupakan seorang transmigran dari Jawa timur dan memilih menetap di pulau Borneo saat memutuskan menikah dengan Samsul.
Berty dan suaminya dikaruniai dua orang anak yang belum masuk kategori remaja. Anak sulungnya kelas 4 sekolah dasar, sedangkan anak bungsunya berusia 6 tahun yang sebentar lagi akan memasuki dunia pendidikan. Demi masa depan anak, pasangan ini memutuskan untuk bekerja sama dan mencari sisa makanan untuk peternakan serta barang yang masih bisa dijual.
“Mau ndak maulah. Sekolah hanya tamat SD, jadi ya kerjanya gini. Demi anaklah, biar bisa makan, sekolah. Jangan kaya orang tuanya”serunya seraya terkekeh.
Resiko yang didapatinya tidak tanggung-tanggung. Dengan nada lirih ia berkisah tentang yang pernah ia alami. Punggungnya pernah tersentuh belakang truk, saat truk mundur hendak menumpahkan muatan sampah. Beruntungnya, ia tak mendapati luka yang berat. Namun hal ini membuatnya lebih berhati-hati lagi.
Setiap pukul 9 pagi, Berty dan sang suami menyingsing pergelangan bajunya dan memakai sepatu bot menandakan siap untuk bertempur dengan aroma sampah. Air keringat terus saja mengucuri tubuhnya hingga langit pun gelap. Saat itu, ia menambah senjatanya berupa senter yang ia lekatkan di kepalanya.
Saat malam kian hening, ia dan yang lainnya pun pulang kerumah masing-masing. Hal yang pertama kali ia lakukan sesampainya dirumah adalah mandi. Setelah seharian bermain dengan air kotor dan belatung, mandi rupanya tidak efektif menghilangkan gatal-gatal hingga bercak-bercak merah ditangannya.
Berty menempuh ritual lainnya yaitu merendam tangannya dengan air hangat dan garam. Begitulah siklus yang ia tempuh setiap harinya, bekerja dan menyembuhkan diri sendiri secara tradisional.
Namun apa yang ia rasakan, menurutnya sebanding dengan apa yang ia dapatkan. Biasanya ia mendapatkan 600 ribu selama dua minggu sekali jika diakumulasikan dengan pendapatan suami. Ia selalu mengajarkan kepada anak-anaknya agar terus bersyukur atas rezeki yang sudah didapatkan.
“Gak apa-apa, yang penting halal. Kalau makan, nasi sama garam juga gak apa-apa. Yang penting anak bisa sekolah”pungkasnya.
Satu hal pada waktu itu yang hampir menghambat kami untuk menulis dan meceritakan hal ini kepada teman-teman.
Melihat seseorang yang sedang duduk di dekat mobil bewarna biru, kami pun menghampiri dan ingin menanyakan sesuatu kepadanya. Sepatah dua patah kalimat mulai terucap, ekspresi mimik wajah yang mulai menyeramkan dan alis mata naik keatas, bapak itu mengatakan "Kalian ini siapa? Apa tujuan dan maksud kalian kesini?" katanya dengan nada yang tinggi. Rasaku bapak itu tidak senang dengan kedatangan kami.
Kami pun menjawab sambil merekam dan mengacungkan HP layaknya Jurnalis yang ingin mengajak sesorang tuk melakukan wawancara, serta merekam suara sebagai bahan tulisan.
Bapak itu langsung merampas HP tersebut, tiba-tiba dia mengancam! mulai dari ingin menghempaskan HP dan melaporkan kepada Dosen dan Rektor di Kampus ku. Sontak terdiam, lalu kami ajak bapak itu tuk berbincang dengan santai. Kami menjelaskan secara perlahan tentang maksud kedatangan kami di tempat tersebut, bapak itu sedikit mulai terdiam dan mengembalikan HP yang sudah dirampasnya. Singkat cerita, akhirnya kami pulang dengan selamat dari tempat itu, dan mulai menulis hasil dari liputan kami disana.
Jangan lupa untuk selalu bersyukur, bersyukur adalah cara terbaik untuk menikmati hidup, tanpa hal itu, apa yang kau miliki saat ini hanyalah angin lalu yang sia-sia.
Penulis: Riski Ramadani & Gusti M. Ridho
TPA Batulayang, Pontianak. Foto: Riski Ramadani |
Dikarenakan satu dan lain hal, satu orang dari team kami (Febri) berhalangan tuk pergi, jadi kami bertiga (Aku, Kiki dan Ainun) lah yang bergegas pergi di tempat itu dengan rasa penasaran yang mendalam.
Mentari sedang berada di pucuk kepala, tatkala Berty mengais barang bekas di balik gunungan sampah yang mengitarinya. Bau yang menyengat,tetesan air kotor yang terus jatuh mengenai kepala dan belatung-belatung yang merayap di tubuhnya, sudah menjadi hal yang biasa baginya sejak 7 tahun terakhir.
Wanita 54 tahun itu tak seorang diri, banyak pula rekan yang seusianya memilih bekerja sebagai pemulung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Batulayang, Pontianak Utara, Kalimantan Barat. Ia merupakan seorang transmigran dari Jawa timur dan memilih menetap di pulau Borneo saat memutuskan menikah dengan Samsul.
Berty dan suaminya dikaruniai dua orang anak yang belum masuk kategori remaja. Anak sulungnya kelas 4 sekolah dasar, sedangkan anak bungsunya berusia 6 tahun yang sebentar lagi akan memasuki dunia pendidikan. Demi masa depan anak, pasangan ini memutuskan untuk bekerja sama dan mencari sisa makanan untuk peternakan serta barang yang masih bisa dijual.
“Mau ndak maulah. Sekolah hanya tamat SD, jadi ya kerjanya gini. Demi anaklah, biar bisa makan, sekolah. Jangan kaya orang tuanya”serunya seraya terkekeh.
Resiko yang didapatinya tidak tanggung-tanggung. Dengan nada lirih ia berkisah tentang yang pernah ia alami. Punggungnya pernah tersentuh belakang truk, saat truk mundur hendak menumpahkan muatan sampah. Beruntungnya, ia tak mendapati luka yang berat. Namun hal ini membuatnya lebih berhati-hati lagi.
Setiap pukul 9 pagi, Berty dan sang suami menyingsing pergelangan bajunya dan memakai sepatu bot menandakan siap untuk bertempur dengan aroma sampah. Air keringat terus saja mengucuri tubuhnya hingga langit pun gelap. Saat itu, ia menambah senjatanya berupa senter yang ia lekatkan di kepalanya.
Saat malam kian hening, ia dan yang lainnya pun pulang kerumah masing-masing. Hal yang pertama kali ia lakukan sesampainya dirumah adalah mandi. Setelah seharian bermain dengan air kotor dan belatung, mandi rupanya tidak efektif menghilangkan gatal-gatal hingga bercak-bercak merah ditangannya.
Berty menempuh ritual lainnya yaitu merendam tangannya dengan air hangat dan garam. Begitulah siklus yang ia tempuh setiap harinya, bekerja dan menyembuhkan diri sendiri secara tradisional.
Namun apa yang ia rasakan, menurutnya sebanding dengan apa yang ia dapatkan. Biasanya ia mendapatkan 600 ribu selama dua minggu sekali jika diakumulasikan dengan pendapatan suami. Ia selalu mengajarkan kepada anak-anaknya agar terus bersyukur atas rezeki yang sudah didapatkan.
“Gak apa-apa, yang penting halal. Kalau makan, nasi sama garam juga gak apa-apa. Yang penting anak bisa sekolah”pungkasnya.
Satu hal pada waktu itu yang hampir menghambat kami untuk menulis dan meceritakan hal ini kepada teman-teman.
Melihat seseorang yang sedang duduk di dekat mobil bewarna biru, kami pun menghampiri dan ingin menanyakan sesuatu kepadanya. Sepatah dua patah kalimat mulai terucap, ekspresi mimik wajah yang mulai menyeramkan dan alis mata naik keatas, bapak itu mengatakan "Kalian ini siapa? Apa tujuan dan maksud kalian kesini?" katanya dengan nada yang tinggi. Rasaku bapak itu tidak senang dengan kedatangan kami.
Kami pun menjawab sambil merekam dan mengacungkan HP layaknya Jurnalis yang ingin mengajak sesorang tuk melakukan wawancara, serta merekam suara sebagai bahan tulisan.
Bapak itu langsung merampas HP tersebut, tiba-tiba dia mengancam! mulai dari ingin menghempaskan HP dan melaporkan kepada Dosen dan Rektor di Kampus ku. Sontak terdiam, lalu kami ajak bapak itu tuk berbincang dengan santai. Kami menjelaskan secara perlahan tentang maksud kedatangan kami di tempat tersebut, bapak itu sedikit mulai terdiam dan mengembalikan HP yang sudah dirampasnya. Singkat cerita, akhirnya kami pulang dengan selamat dari tempat itu, dan mulai menulis hasil dari liputan kami disana.
Jangan lupa untuk selalu bersyukur, bersyukur adalah cara terbaik untuk menikmati hidup, tanpa hal itu, apa yang kau miliki saat ini hanyalah angin lalu yang sia-sia.
Penulis: Riski Ramadani & Gusti M. Ridho
Komentar
Posting Komentar